Sabtu, 13 September 2014
walaupun berbadan kecil tapi aku punya impian yang besar
Ini kisah hidupku, Suharti dari Cilacap “walaupun berbadan kecil tapi aku punya impian yang besar”, Ku menjadi pelita dalam keluarga Nama saya Suharti, asal Cilacap , Jawa Tengah. Saya ibu tunggal dengan satu anak dan saya juga anak pertama dari enam bersaudara. Keluarga saya sangat sederhana, orang tua saya hanya seorang pembuat gula kelapa. Hidup pas-pasan, ibarat hasil sehari buat makan satu hari juga kurang. Apalagi waktu saya dan kedua adik saya Sekolah Dasar, orang tua saya pun semakin berat bebannya. Kadang harus ngutang beras ke warung. Hutang yang sedikit demi sedikit semakin bertambah banyak karena orang tua saya tidak sanggup untuk mencicil. Pada suatu hari, waktu saya mau ke warung membeli sesuatu, saya tak sengaja mendengar percakapan ibu –ibu yang sedang belanja. Pemilik warung sedang ngomongin orang tua saya. Pemilik warung berkata “Itu Sudiarjo (nama orang tua saya) hutangnya banyak dan gak mau nyicil. Kalau gak bisa nyicil ya gak usah ngutang harusnya” “lagian udah susah juga punya anak banyak-banyak” tambah seorang ibu. Saat itu juga saya begitu sedih sampai saya tidak berani untuk melanjutkan langkah saya untuk beli barang, akhirnya saya pulang dengan tangan kosong dan bilang pada ibu saya “aku gak mau kewarung, aku malu bu, mereka ngomongin bapak hutangnya banyak” ibu saya terdiam “ suruh saja Santo (adik saya) yang ke warung” ucapku lagi “ aku juga ga mau, memang mba aja yang dengar gitu, aku juga mendengar mereka ngomong begitu” jawab adik saya. Ibu pun pergi berangkat sendiri kewarung sambil bilang “kita itu ngutang, bukan mencuri, dan suatu hari kalau bapak sudah punya duit juga pasti akan di bayar” Ada penyesalan kasihan juga pada Ibu waktu itu, karena sudah sampai, dia masih harus ke warung lagi. “ ibu maaf, aku berjanji suatu hari aku akan bisa membuat hidup kalian lebih baik dan akan kubayar hutang-hutang kalian, aku ga mau kalian di hina” bisik hatiku pilu. Dan mulai dari hari itu saya selalu ikut bekerja mengangkut pasir, batu bata atau batu kali, saya pikul seperti anak laki-laki. Hasilnya lumayan, bisa buat beli alat-alat sekolah saya dan adik-adik saya. Dan mulai dari hari itu juga, saya mengubur cita-cita saya yang ingin sekolah SMP dan SMA. Saya berpikir biarlah saya cuma lulus SD, tapi kalau bisa adik-adik saya harus lulus SMA. Setelah lulus SD saya pun ikut kerja dengan Uwa (paman) saya. Saya kerja di daerah Ciamis, menjaga anak dengan gaji waktu itu hanya Rp. 25.000. Hasil kerja saya, saya kirimkan terus ke orangtua saya untuk membantu membayar sekolah adik saya, kadang kalau Uwa saya pulang kampung, saya akan titipkan biskuit-biskuit yang orang tua dan adik-adik saya tidak pernah makan. Nasib saya cukup beruntung waktu itu, karena saya mendapatkan pekerjaan dan majikan yang baik. Apapun yang majikan saya makan, pasti saya juga ikut makan. Mereka sayang pada saya dan mereka juga sempat menyekolahkan saya ke sebuah kursus menjahit. Tapi lagi-lagi disaat saya sudah mulai menikmati kerja dan bisa dapatkan uang, membantu orang tua. Tiba-tiba ada orang yang melamar saya untuk menjadi istrinya. Sebenarnya aku ingin menolak karena cita-cita saya juga tidak mau menikah di usia muda, namum adat orang kampung kalau seorang cewek sudah ada yang melamar tidak boleh menolak, akhirnya saya terima juga. Walaupun itu bukan dijodohkan oleh orang tua saya, karena saya tahu cowok itu sebelumnya dan tahu perasaan dia kepada saya lewat surat yang dikirimnya. Namun, bagi saya itu tidak adil. Kenapa perempuan tidak punya hak untuk menolak, mungkin juga bagi orang tua saya suatu kebanggaan karena anak gadisnya dilamar orang dan akan cepat punya hajatan, yang oleh orang dulu hajatan sebuah kebanggaan. Diumurku yang 17 tahun sayapun harus menjalani hidup berumahtangga yang saya sendiri belum begitu memahami. Dan kembali saya harus mengubur cita-cita saya lagi yang ingin memperbaiki rumah orangtua saya. Dan setelah saya menikah adik saya pun tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA, akhirnya dia juga harus kerja, walaupun semangat dia untuk sekolah sangat besar, tapi harus bagaimana lagi, tidak ada biaya. Karena saya juga tidak bisa mambantu. Dalam rumah tangga kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang kami beri nama Andri Setiawan, dan berharap suatu hari Andri akan menjadi anak yang baik, sehat dan menjadi harapan bagi kami kedua orang tuanya. Kembali cobaan datang kepada saya, rumah tangga yang saya jalani cuma bisa bertahan selama 4 tahun. Perceraian pun terjadi, sungguh semua ini tidak saya inginkan mengingat anak saya masih kecil dan masih memerlukan kasih saying kedua orang tuanya. Tetapi semua ini tetap saya hadapi walaupun begitu pahit. Saya pun kembali ke orang tua saya dan saya tahu mereka sangat sedih dengan keadaan saya. Saya berusaha tersenyum dan ceria setiap harinya karena saya tidak mau mereka bersedih dan merasa terbebani oleh keadaan saya. Walaupun hati saya pilu apalagi bila Andri menanyakan ayahnya. Kemudian saya kembali bekerja, Alhamdulilah ada kerjaan di dekat rumah, dan mereka (bos saya) mengijinkan seandainya aku harus membawa anak saya saat saya kerja, setiap hari say apergi pagi dan pulang sore, sudah mulai terbiasa dengan gaji yang lumayan bisa buat memenuhi kebutuhan anak saya, dan membantu sedikit orang tua saya. Namum cobaan datang lagi disaat hidup saya sudah mulai tenang, mantan suami saya membawa anak saya dengan paksa dengan alas an dia ingin merawatnya, saya memohon dan meminta agar jangan bawa Andri. Karena saya tidak bisa berpisah dengan Andri dan Andri juga gak mau ikut ayahnya, tapi tetap saja dia (mantan suami saya) mengambilnya dari saya. Andri tinggal bersama mertua saya,walaupun jarak rumah kami tidak jauh, tetapi saya, orang tua ataupun adik saya tidak diijinkan untuk menemui anak saya. Itu bukan saja menyiksa saya,tetapi Andri juga yang selalu terkurung didalam rumah. Sedangkan Andri adalah anak yang aktif, suka bermain dengan teman-temannya. Berpisah dengan anak, hampir membuatku gila. Tiap hari aku menangis, sampai jatuh sakit. Begitu sepi tanpa Andri, kangen dengan kenakalan, ocehan dan kelucuan yang tiap hari Andri tunjukkan. Di saat aku benar-benar terpuruk dalam kesedihan, ada saudara dari Ibu saya menasehati saya. Kata-kata Beliaulah yang membuat aku bangkit dari keterpurukan dan kesedihan.” Berdoa dan berusahalah, tuntutlah ke pengadilan untuk mendapatkan anakmu kalau itu perlu. Dan kalau ke Pengadilan kamu perlu uang banyak, kerjalah ke luar negeri.” Dari situlah saya tergugah hati saya untuk bekerja ke luar negeri biar dapat uang banyak dan bisa menuntut hak asuh anak saya.Dengan bekal tekad yang kuat dan niat untuk cari uang banyak dan hanya dengan modal keberanian, mengalahkan betapa berat dan susah hidup di penampungan. Ada coretan kisah saat di penampungan “Sudah kurasa pahit, manis kehidupan. Sudah kurasa suka, duka di penampungan bersama teman-teman seperjuangan. Hanya karena ingin merubah nasib yang lebih baik dari sekarang. Rindu pada anak dan keluarga kami pendam, bayangan mereka pun kami buang. Kekasih pun terpaksa kami lupakan, demi cita-cita di masa depan. Bila siang kami lupa pada yang menyedihkan, tapi bila malam tak dapat kami elakkan. Kami tidur beralaskan tikar, bantalpun beralaskan kain-kain tebal. Airmatapun bercucuran, saat ada teman kami yang diterbangkan. Karena kehilangan teman seperjuangan dan karena akan pergi jauh ke negeri orang.” Alhamdulillah, saya cuma dua bulan berada dipenampungan dan akhirnya saya juga dapat majikan dan terbang ke Singapura. Ternyata kerja di Singapura tidak segampang yang saya bayangkan, apalagi dengan bahasa yang berbeda membuat susahnya berkomunikasi. Sehingga banyak membuat kesalahan,walaupun majikan saya bisa berbahasa Melayu, tapi bagi saya waktu itu Melayu lebih sulit untuk dipahami, kata-kata aneh dan susah dimengerti. Waktu tiga bulan awal bekerja begitu sulit, sering dimarahi karena sering membuat kesalahan. Tapi Alhamdulillah mereka baik, mengijinkan aku menulis surat kekampung, itu sudah cukup buat saya bahagia, karena saya bisa kasih kabar kepada orang tua saya. Dan surat pertama dari orangtua saya membawa kabar sedih, karena nenek saya telah meninggal dunia. Apalagi mereka bilang meninggalnya waktu saya masih dipenampungan, karena mereka tidak mau aku sedih jadi mereka tidak memberi tahu saya waktu itu. Sesedih apapun, aku harus kuat dan terus mengingat tujuan saya ke Singapura dan saya juga harus bisa jaga diri karena jauh dari keluarga. Dan surat kedua dari orangtua saya adalah kabar yang sangat menggembirakan karena dari pihak mantan suami saya menyerahkan Andri ke orang tua saya. Itu adalah kebahagiaan yang luar biasa dalam hidup saya, walaupun saya tidak bisa merawat Andri, karena saya sudah bekerja di luar negeri. Tapi hati saya begitu tenang, karena orangtua saya yang merawat Andri. Dan saya semakin semangat dalam bekerja, tapi tujuan saya bukan lagi menuntut ke pengadilan, tapi untuk masa depan anakku, aku, dan membantu keluargaku. Adik saya yang sempat berhenti sekolah dan terus bekerja, aku suruh dia sekolah lagi. Waktu itu saya membiayai tiga adikku yang di SMA, SMP,dan SD. Di majikan pertama , saya bekerja lima tahun, Alhamdulillah dari sisa membiayai adik-adik dan membantu keluarga, saya juga bisa membayar hutang-hutang orangtua saya, Alhamdulillah. Dan orang-orang juga sudah tidak memandang keluarga saya dengan sebelah mata, warung-warung yang pernah dihutangi oleh orangtua saya, jadi ramah dan menghormati, walaupun rumah orangtua saya masih jelek. Bukan karena saya tidak mau membetuli rumah, tapi orangtua saya tidak mau. Kata Bapak biarin saja yang penting masih bisa buat berteduh. Sayapun ganti majikan, karena di majikan saya yang pertama gaji saya tidak besar. Dan saya pun mendapatkan majikan yang kedua dengan gaji yang lebih besar tapi Ya Allah, majikan saya yang kedua cerewet sekali dan ternyata saya adalah pembantu yang nomer 10. Dan saya juga yang bisa bertahan hampir dua tahun kerja sama mereka. Itu juga benar-benar saya tahan-tahan, karena waktu itu aku perlu biaya buat adik laki-laki saya yang ingin bekerja keluar negeri dan juga biaya kakek saya yang keluar masuk Rumah Sakit karena penyakit jantungnya. Tidur yang kadang jam 1 dan bangun jam 5, dan tempat tidur yang digudang, kadang terpaksa tidur harus dibawah jemuran, karena kalau digudang takut kejatuhan barang, benar-benar kujalani dengan sabar. Saya percaya, itu semua cobaan, dan cobaan tidak hanya sampai disitu, saya harus kehilangan kakek saya. Kakek yang begitu baik pada saya semasa hidupnya. Dan saya juga ditipu oleh seorang agen, dia membawa kabur uang saya $800, sehingga saya tidak bisa membiayai adik saya yang ingin bekerja keluar negeri. Tapi saya selalu percaya semua pasti ada hikmahnya, karena Tuhan tidak pernah tidur. Dan petunjuk itu mulai ada, akhirnya majikan saya mengijinkan saya pulang, walaupun saya belum selesai kontrak. Karena memang saya tidak kuat dan tidak tahan bekerja sama mereka. Selama dua bulan, dengan tidak sabar saya menanti majikanku yang ketiga (yang sekarang). Karena sudah biasa kerja dan dapat uang, nganggur dua bulan bikin stress saja. Pemasukan tidak ada, pengeluaran ada terus, tapi Alhamdulillah majikanku yang sekarang sangat baik, mereka menganggap saya seperti bagian dari keluarganya. Saya diperlakukan baik dengan fasilitas yang bagus, punya kamar sendiri, ada TV, radio. Dan mereka memberi hari libur setiap minggu dan majikan saya juga yang membayar ke agen semua biaya proses saya kerja sama mereka. Dalam buku yang pernah saya baca, ternyata benar, ”Segala sesuatu itu ada masanya, Dan untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” Dimajikan saya yang sekarang, saya bisa mencapai cita-cita yang lima belas tahun lebih terkubur dalam-dalam. Walaupun ada keinginan, namun selama ini tidak ada kesempatan. Meskipun hanya sekolah kesetaraan, tapi itu sudah luar biasa dan bangga, kadang saya tidak percaya saya bisa sekolah (belajar lagi) dengan pelajaran yang waktu SD saya pelajari. Dengan kebaikan majikan, tutor, pembimbing, pelaksana, dan tempat yang bagus membuat saya semangat belajar. Walaupun terus terang, susah banget untuk cepat menerima pelajaran yang diajarkan. Dengan bekerja, belajar dan harus memikirkan keluarga itu juga bukan hal yang mudah, apalagi di saat saya baru bekerja,rumah orang tua saya yang memang belum mampu saya betulin di bagian dapur roboh, dan menimpa ibu saya yang waktu itu sedang memasak. Bagian kepala dan wajah yang terluka. Saya di sini begitu panik, saya takut kehilangan ibu saya, karena waktu itu kondisinya lumayan parah. Saya ingin pulang melihat ibu saya, tapi di sisi lain saya bingung, karena saya juga perlu biaya banyak untuk perawatan ibu saya dan juga keluarga saya. Karena bapak saya juga tidak bekerja, harus menjaga ibu, saya juga sempat menyalahkan ayah saya, karena dari dulu Ayah yang tidak setuju rumahnya dibetulin. Alhamdulillah ibu saya sembuh, walaupun sekarang pendengarannya kurang akibat musibah itu. Tapi saya senang masih bisa melihat senyum dan ketawa Ibu, wajahnya yang selalu penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Dari kejadian itu, Ayah sayapun setuju rumahnya diperbaiki. Akupun sekarang senang, meskipun di sisi lain saya bingung, karena bukan biaya sedikit untuk membuat rumah. Untung saya punya simpanan sedikit, dan punya barang yang bisa dijual dan saya di sini juga bukan saja bekerja di rumah, tapi saya jualan pulas diam-diam. Dan kadang di suruh teman ngantar barang ke tempat teman yang lain, saya pun mendapatkan upah. Dari keuntungan itu bisa buat kebutuhan saya sendiri di sini, dan walaupun kadang tiap minggu saya harus mengurangi jatah uang makan dan saya harus bawa sandwich (roti dari rumah). Tidak bisa shopping seperti teman-teman yang lain, karena gaji saya harus dikirimkan tiap bulan untuk pembangunan rumah orangtua saya. Walaupun tidak sebagus rumah-rumah yang lain dan bangunanpun belum sempurna sampai saat ini, tapi saya sudah senang karena sudah bisa buat rumah yang kokoh dan tidak takut roboh lagi. Jujur dari hati saya, sebenarnya saya sudah capek bekerja di sini terus, saya ingin pulang dan bekerja di negeri sendiri, tapi di pikir-pikir mau kerja apa?? Apa bayarannya nanti bisa cukup untuk membiayai kebutuhan setiap hari yang makin tinggi apalagi dengan biaya dan seragam sekolah yang semakin lama semakin tinggi. Tapi setelah saya ikut pelatihan Entrepreneurship saya punya ide-ide apa yang akan saya lakukan dan entrepreneur mengajarkan dan mampu mengeluarkan bakat yang terpendam. Dan memberi saya lebih berani melakukan suatu pekerjaan yang dulunya tak terpikirkan, dan tidak ada keberanian untuk melakukan. Entrepreneurship tidak memandang usia, pendidikan ataupun siapalah kami. “Yang penting bukan kami berada dahulu atau di mana kami berada sekarang, melainkan ke mana kami akan tiba.” Dan sekarang saya bisa berjualan makanan dan pulsa pun masih jalan sampai sekarang. Dan saya juga punya rencana tahun depan, saya bisa jualan jamu-jamu tradisional, karena banyak teman juga yang membutuhkan. Ya itung-itung “Sambil menyelam minum air.” Sudah kerja dapat gaji dan masih dapat uang lagi dengan cara lain. Dan saya berharap apa yang saya pelajari dan didapatkan di sini akan membawa saya, keluarga saya, orang-orang dan sahabat saya akan mempunyai masa depan yang lebih baik. Suatu hari nanti saya ingin menciptakan lapangan pekerjaan buat mereka. Terimakasih saya kepada semua penyelenggara, tutor, pembimbing, dan semua yang berpartisipasi di dalamnya. Beribu-ribu terimakasih, I love you guys, and God Bless You. “SAYA AKAN IMPIKAN APA YANG BERANI SAYA IMPIKAN SAYA AKAN LAKUKAN APA YANG BERANI SAYA LAKUKAN DAN SAYA AKAN JADI APA YANG SAYA INGINKAN.”
trima kasih http://jeritantkw.blogspot.com telah mengakat kisah ku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar