Sabtu, 13 September 2014

KU TERBANGUN DARI TIDURKU DAN KU SADAR SIAPA DIRIKU


KU TERBANGUN DARI TIDURKU DAN KU SADAR SIAPA DIRIKU Pernahkan anda perhatikan mengapa kadang Anda mengubah posisi duduk anda? Pasti karena posisi anda yang tidak nyaman dan anda berusaha mengubahnya untuk merasa lebih nyaman. Jika anda telah merasa nyaman di posisi anda sekarang, anda tidak akan bergerak anda akan tetap duduk di tempat anda bahkan anda akan tertidur dan butuh digoncangkan agar terbangun. Itu adalah pertanyaan dan perkataan seorang motivator dalam bukunya THE ACHIEVER. Pertanyaan dan perkataan yang menyindir perasaanku di akhir tahun 2010, setelah sembilan tahun hidup di Singapura. Ku menangis saat hatiku bertanya “Siapakah aku? Darimanakah aku? Dimanakah aku? Apa yang kucari disini? Apa yang telah kulakukan disini? Dan, Apa yang telah kudapatkan disini?” Aku tidak tahu siapa aku dan merasa tergapura (terbatasi) karena keterlenaanku sendiri. Lalu kumendengar gema suara Ciputra “MERUBAH SAMPAH MENJADI EMAS” Dan terbukalah mataku. Kistem, anak singkong yang terluka. Indonesia, negara yang katanya dicintainya. Singapura, negeri seberang yang megah. Uang... uang… uang… tapi dimanakah uang it? Aku terlena, kulupa diri. Sembilan tahun usiaku termakan sia-sia di Singapura. Singapura. SINGA-pura, kau telah mencabik-cabik cita-citaku! kau memangsa usiaku sembilan tahun! Kau.. kau adalah ibarat seekor singa rupanya!! SinGAPURA, GAPURA!! Yah, baru kusadari, ternyata kini ku TER-GAPURA, terlena karena kebodohanku menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Terlena tinggal disebuah apartement megah, tidak perlu cuci kaki sebelum tidur, tidak perlu kehujanan jika pergi ke kakus/WC di belakang rumah dimalam hari, tidak perlu kucing-kucingan dengan petugas Perhutani demi seikat kayu bakar untuk memasak, tidak perlu memanjat pohon kelapa demi secangkir santan, tidak perlu berjalan kaki dua jam demi sebungkus garam, tidak perlu berjemur seharian di sawah pak carik demi se-sak padi, tidak perlu ke pabrik penggiling padi di ujung desa demi se-cubuk beras. Betapa enaknya hidup memiliki identitas sendiri di Singapura. Tak perlu pedulikan tetangga, tak perlu pedulikan orang lewat, tak perlu pedulikan anjing menggonggong. Karena mereka tidak tahu siapa aku, siapa orang tuaku, siapa kakak adiku, siapa paman bibiku, dan siapa ketua RT-ku. Aku bebas! Aku bebas melakukan apa saja walupun kutahu itu tidak baik. Karena disini tidak seperti di kampung dimana namaku selalu dikaitkan dengan identitas orang lain dan selalu dituntut untuk berbuat baik. Tetapi itu dulu, setelah aku bergaul dan bercinta dengan: CIPUTRA (ENTREPRENEURSHIP CENTRE) - Merubah sampah menjadi emas - Creative - Innovative - Rubahlah dirimu sendiri sebelum kau merubah dunia dan jadilah wanita seperti Dewi Saraswati yang mampu memegang tasbih, lontar, wina dan bunga teratai (Martha tilaar). Itulah awal mulanya kuterbangun dari tidurku. Saat aku terbangun, kudengar bisikan “creativities, innovation, berani gagal, dan berani gagal adalah langkah pertama untuk menjadi seorang entrepreneur”. Dan setelah kumendengar suara-suara itu, aku terpaku, kutemukan siapa diriku yaitu Kistem seorang anak SINGkong yang pergi ke SINGapura karena ingin menjadikan singKONG menjadi kingKONG. Kistem adalah anak seorang petani singkong, anak ke-enam dari delapan bersaudara, dibesarkan dengan singkong, dan disekolahkan dengan singkong. Namun kini ia telah melupakan singkong dan impiannya kingkong karena terlena oleh Singapura. Saat aku duduk di Madrasah/SD, biyung (ibu) mengajakku jalan keliling desa tetangga yaitu desa pesawahan, menjajakan dagangan hasil dari produksinya sendiri. Di punggung biyung, sekarung kerupuk canthir (ceriping singkong) digendongnya, dan dipunggungkupun sekarung kecil, tak seberapa bandingannya dengan yang dibawa ibuku. Teriknya matahari membuat wajah lelah biyung bercucuran keringat, kami hampiri dari pintu ke pintu tapi tak semua pintu dibukakanya. Sepanjang jalan, kulihat anak-anak seusiaku bermain ria bersama teman-temannya Aku iri dengan mereka dan rasa iriku mengundang setan sehingga aku merasa marah pada ibuku karena melakukan aku tidak adil. Aku ingin seperti anak-anak yang lain. Waktu itu aku tidak tahu kalau ibuku sedang mengajariku bekerja keras menjadi seorang sales. Setiap hari, disaat subuh aku dan abangku disuruh mencabut singkong di ladang diatas perbukitan yaitu perbukitan Gunung Blubuk. Abangku memanggul sepikul singkong dan aku menggendong seikat daun singkong untuk kambing yang menjadi harta kami. Kami turun ke bawah bukit dan sesampainya di jalan desa ku melihat anak-anak seusiaku sudah berpakaian merah putih bercanda ria berangkat ke sekolah. Aku iri dengan mereka. Aku mandi dan sarapan lalu pergi ke sekolah. Oyek, Thiwul, Gathot, adalah menu sarapanku. Jikalau sarapan nasi itu adalah menu sarapannku yang istimewa. Saat pulang sekolah kujumpai wajah-wajah lelah di gubuk tempat tinggalku. Tubuh Romo (Ayah) yang kurus bercucuran keringat, wajah biyung yang lelah bercucuran keringat. Semua itu demi mengolah singkong hasil pertaniannya untuk dijadikan produk yang lebih berharga. Romo biyung tidak berpendidikan, boleh dikata buta huruf tetapi mereka tidak buta pengetahuan. Bahkan mereka mengetahui betapa pentingnya pendiikan anak. Mereka tak peduli apa kata tetangga dan saudara yang menghasutnya ‘tuk tidak menyekolahkan anak perempuan ke sekolah lanjutan. Gali lobang tutup lobang, singkong diubahnya menjadi ceriping, talas diubahnya menjadi makanan balado, pisang diubahnya menjadi keripik, kelapa diubahnya menjada minyak, itulah sebagaian kreativitas orang tuaku dalam membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya walaupun hanya sampai tingkat SLTA. Namun, setelah kedelapan anaknya dewasa bahkan berumah tangga, mereka lebih memilih merantau sebagai pekerja dan pembantu rumah tangga. Tak satupun yang meneruskan kreativitas orang tua. Kini setelah aku bertemu Ciputra baru kusadari aku telah menyia-nyiakan ajaran orang tua. Dan aku bertanya, BISAKAH aku merubah singkong menjadi emas? Bisakah kujadikan ladang singkong orang tuaku menjadi ladang emas demi membayar dosa-dosaku pada mereka? Dosaku karena tidak mengenali orang tua sendiri, dosa karena telah menyalahpahami ajaran orang tua sendiri. Romo…Biyung…maafkan anakmu…ku malu padamu…ku rindu padamu.. Saat aku masih dibangku SMEA/SLTA aku sudah belajar bisnis yaitu bekerjasama dengan kakakku yang di Jakarta yaitu pada tahun 1998. Kami berbisnis keripik singkong, keripik pisang, dan keripik tempe. Aku di kampung sebagai pemasok dan kakak di Jakarta sebagai marketing. Pengiriman aku titipkan ke bis penumpang yang menuju Jakarta yaitu, kusewa bagasinya. Dan dagangan kami rupanya bagaikan emas di Jakarta. Liburan sekolah aku bergabung dengan kakak memasarkan dagangan kami, kadang di pasar Pesing, di pasar Jelambar, di pasar Impres Daan Mogot, di pasar Kebon Jeruk. Kami hanya pedagang kaki lima tapi hasil bisnis kami boleh dikata bintang lima. Tetapi bisnis kami gagal karena tidak bisa berkembang. Saat kami coba memperluas market menawarkan ke took-toko atau UD makanan, produk kami tidak diterima dengan alasan katanya produk kami TELANJANG, tidak memiliki nama. Saat kami coba memperluas ke Supermarket, produk kami ditolak mentah-mentah, dia bilang “supermarket kami tidak bisa menjual produk seperti ini, jangankan ada tertulis tanggal kadaluarsa, kode produksi aja ga ada, malah namapun ga punya”. Kami pergi ke percetakan mencetak nama “SAMIRASA”, itulah nama kebanggaan produk kami karena menggunakan nama ayahku yaitu Samiarja. Tetapi tetap saja kami tidak bisa mempertahankan usaha kami karena kami sering tidak memenuhi jumlah yang diinginkan konsumen, kami sering terlambat mengirim ke konsumen karena kami tidak memiliki kendaraan dan telephone. Saat itu aku tidak menangis atas kegagalan ini. Tetapi pada tahun 2011 ini, ketika aku melihat sebungkus keripik singkong di pasar Gelang Serai (Geylang, Singapore) mataku berlinang saat membaca tulisan “SAMIRASA” Malang- Jjawa Timur, Indonesia. Kududuk di bus stop dan tanpa kusadari sebungkus keripik itu hancur kuremas-remas. Aku menangis geram, siapakah pemilik perusahaan “SAMIRASA” ini, kuingin menemuinya dan bertanya kenapa kau curi nama kebanggaanku, namun kusadar, aku tak ada hak tuk bertanya itu. Apalagi setelah Ciputra mengajariku pentingnya sebuah PERENCANAAN. Kusadari, ternyata kegagalanku dulu karena kurangnya pengetahuan dan persiapan dalam berbisnis. Terima kasih Ciputra, kau telah memberiku ilmu/pengetahuan tentang bisnis. Sebelum aku ke Singapura, aku bekerja disebuah mini market dengan jabatan yang lumayan. Berkat jabatan itu aku mengenali perusahaan-perusahaan di Indonesia terutamanya perusahaan yang sebagai distributor. Perusahaan Indomakmur, Indomarco, Bayer, Artaboga, Intisari, Heinz, Sejahtera, Wing, Nabisco, dll. Aku jadi tahu melayani pembeli, aku jadi tahu pegang kasir dan mampu membedakan mana uang palsu dan uang asli, aku jadi tahu bagaimana menyetok barang, menentukan harga jual, mengarsip Faktur, Giro, Nota dan surat-surat dagang lainnya. Aku kerja jam 12 siang sampai jam 10 malam. Setelah bekerja di mini market aku bekeja menyortir buah di perusahaan pamannku yaitu perusahaan dagang buah lokal yang mensuply ke Supermarket di seluruh wilayah Jakarta, dan Tangerang. Hasil yang kudapat dari kerja ini, aku boleh mengambil buah BS-annya. Jan 2 malam aku pulang ke kamar kontrakanku sambil membawa buah BS-an bersama kakak. Kadang buah BS-an itu mencapai sekranjang dengan nilai jual kadang mencapai Rp.160.000 saat itu. Ada jeruk medan, apel malang, salak, jambu, dll. Jam 2 malam aku mencuci baju dan kakak memasak. Setelah makan dan cucian dijemur kami berangkat kepasar dan kami tiduran beralas koran diemperan pasar menunggu pasar buka yaitu sekitar jam 4.30an. Kami berjualan sampai jam 7 pagi. Pelanggan kami memang ibu-ibu penjual nasi warteg yang belanja awal di pasar sehingga daganganku cepat terjual. Setelah jualan aku baru bisa tidur sampai jam 11 siang lalu jam 12 siang mulai bekerja di mini market. Namun kedua karier itu boleh dikata tidak aku lakukan dengan sepenuh hati sehingga kerja kerasku tidak membuahkan kemajuan ditambah lagi dah mengenal cinta dan cinta itu tidak bisa menyatu karena orang tuanya, hanya karena aku tidak memiliki ijazah sarjana yang setara dengan anaknya. Kemudiam aku terpengaruh teman sampai akhirnya ke Singapura pada awal 2002 dengan harapan bisa dapat uang untuk bisa kuliah dan bisa jadi sarjana. Namun, lingkungan dan fasilitas kehidupan di singapura membuatku terlena dan tertidur. Aku menjadi pemalas, berfoya-foya, dan lupa diri. Hingga suatu hari, Ciputra mempertemukanku dengan seorang Ibu Martha Tilaar, kucoba temukan diriku dan merubah diriku. Bahkan kepercayaan yang diberikannya untuk menjual produknya telah membuatku percaya diri dan tahu bahwa aku mempunyai potensi lebih dari sebagai pembantu rumah tangga. Dan kutemukan kembali jimatku yang terpendam yaitu jimat yang kudapat dari almarhum nenekku yaitu, ilmu penjualan yang mana ada empat baris mantera. - Semar Nggelar - Petruk Manguk-manguk - Gareng Nengreng, dan - Bawor Ngowor. Mantera ini telah memberikan aku keyakinan dalam setiap melakukan penjualan. Dan dikemudian hari aku diberi kepercayaan oleh Creative Group untuk memproduksi dan menjual bersama produk gorengan, soto dan bakso. Bahkan aku diberi kepercayaan mengurus keuangan. Kepercayaan yang diberikan Creative Group telah mengembalikan diriku yang dulu yaitu seorang wanita yang suka bekerja keras. Ciputra, karenamulah kini aku menjadi orang yang bertanggung jawab, percaya diri, lebih menghargai waktu dan uang. Salah satu buktinya yaitu waktu kau memberikan aku kesempatan berpidato saat graduation. Walaupun belum memuaskan tapi itu salah satu keberhasilanmu dalam mendidiku dan akupun takkan lupa karena itu adalah pidato pertamaku selama hidupku ini. Terima kasih Ciputra, terima kasih Creative Group, kau telah kembalikan kekuatanku yang pernah melemah. Berani gagal yang kau tanamkan dijiwaku telah membuat aku berani menghadapi tantangan. Tantangan memanfaatkan peluang dan waktuku. Yaitu hingga kini aku masih meneruskan dan mengembangkan apa yang pernah dipercayakan oleh Creative Group. Aku siap menghadapi resiko apalagi setiap kali aku melihat toko kue Bengawan Solo, Singapore aku semakin bersemangat. Semangat karena terinspirasi oleh pendiri dan pemilik Bengawan Solo dalam mengawali usahanya yaitu ibu Tendry Anantasi. Seorang wanita Indonesia, seorang ibu rumah tangga, seorang wanita yang tak pernah mendapatkan pendidikan bisnis tetapi keberanian, keuletan dan suka bekerja keras yang dimilikinya telah membawanya menjadi seorang wanita pengusaha yang sukses. Ciputra, rasanya aku belum puas hanya dengan mengucap rasa terima kasih sebagai balasan atas jasamu. Izinkanlah aku menjadi bagian dari sayapmu. Sayap yang kini sedang kau kembangkan dan sebakan ke seluruh anak nusantara. Izinkanlah aku berbagi ilmu dan pengalaman yang kudapat darimu kepada saudara-saudaraku, http://jeritantkw.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar