Calon tenaga kerja Indonesia (TKI) dari
PT Duta Tangguh Selaras di Kelurahan Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat,
mengacungkan tangan tanda siap diberangkatkan ke Arab Saudi setelah
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menggerebek tempat
penampungan itu, Rabu (22/6). Dari tempat tersebut, polisi menemukan 209
TKI yang 12 orang di antaranya diduga bermasalah karena kurang umur,
hamil, dan buta huruf.
.Malam nan laknat itu datang. Di lantai tiga sebuah apartemen
di Kota Hawali, Kuwait, pembantu rumah tangga Imas Tati (22)
terpentang, terbaring telanjang di ruang tamu. Kedua tangan dan kakinya
diikat pada kaki-kaki kursi. Majikannya, seorang pria berusia 30 yang ia
panggil Baba, memandangi tubuh Imas dengan nanar. Tangan Baba menyentuh
Imas.
”Ya Allah, Ya Rabbi,” bisik Imas dalam
hati. Matanya berkaca-kaca. Tak berapa lama, air matanya tak terbendung
lagi, mengairi pelipisnya. Ia terus menderas asma suci Allah dalam hati.
Tangan dan kakinya terus meronta, menolak disentuh. Tapi Baba tambah
bernafsu. Ia bukan hanya menyentuh, tetapi memukuli Imas.
Mata Imas terkatup rapat menahan rasa
sakit, rasa takut, terhina dan marah. Ia meredamnya dengan terus
menyebut asma suci Allah. Giginya menggigit bibir.
Tiba-tiba telepon genggam Baba berbunyi.
Istrinya, Nyonya ”Z”, seorang dokter bedah, pulang. Baba buru-buru
memakai pakaiannya. Imas pun ia lepas. Sambil berpakaian, Baba lalu
menjambak rambut Imas dan mendekatkan mulutnya pada telinga Imas. Baba
berbisik, ”Kalau kamu melawan, saya akan terus menjadi ancaman buat
hidupmu. Seharusnya kamu mau melayani saya dan menerima lebih banyak
uang untuk keluargamu.” Tangan kiri Baba masih menjambak rambut Imas.
Imas membisu. Babak berikutnya adalah
babak sandiwara sepasang suami istri. Setelah melayani keduanya, Imas
pergi tidur. Tetapi di kamarnya, ia tak bisa memejamkan mata. Ini adalah
yang kesekian kalinya ia nyaris diperkosa. Terakhir, ia hendak
diperkosa si Baba dan lima keponakan prianya.
Ceritanya, usai mengantar belanja, Imas
diminta tetap di mobil bersama kelima keponakan pria Baba. Ternyata
mereka berniat memperkosa Imas. Sambil berjalan, kelimanya membekap
Imas. Hampir seluruh pakaian Imas termasuk pakaian dalamnya sudah lepas.
Demikian pula pakaian ke lima keponakan Baba.
Karena Imas terus meronta, kelima pria
lamban mewujudkan niatnya. Saat kendaraan hendak sampai apartemen Baba,
Baba mengingatkan kelima keponakannya agar mengurungkan niatnya. ”Kita
cari waktu lain saja yang lebih leluasa,” ucap Baba. Meski kecewa,
kelima keponakan menuruti permintaan Baba.
Lari
Imas mengejapkan matanya, mengusir
genangan air mata. Ia masih terbaring di tempat tidur. Bayangan tentang
Baba yang terus berusaha mencicipi tubuhnya di dapur, di ruang tamu, di
ruang makan, bahkan di kamar mandi, membuatnya makin gelisah. Peluang
Baba memperkosa Imas banyak. Sebab, Baba sehari-hari di rumah sementara
istrinya setiap hari berangkat pagi, pulang malam. Hampir seluruh waktu
Nyonya Z, dihabiskan di rumah sakit.
Tapi lama-lama Imas tak ingin lagi
menjadi seekor ikan yang cuma bisa menggelepar tanpa suara. Imas ingin
lari tapi, ragu bila mengenang kembali cita-citanya bekerja untuk
membiayai sekolah adiknya, dan membantu ekonomi orangtuanya di desa.
Ingatan tentang penderitaannya selama
menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi kemudian menepis cita-cita
Imas. Ia lalu menguatkan tekad untuk kabur.
Pagi pukul 05.00, ia melepas dan
menyambung-nyambung kain korden dan selimut. Ia pun mengendap-endap
turun dari lantai tiga. Sampai di lantai dua, ia jatuh. Niatnya kabur
gagal. Di depan istrinya, Baba pun mencaci maki Imas. ”Dasar budak tidak
tahu diuntung!”. Mendengar teriakan itu, Imas tak ingin lagi jadi
seekor ikan. Ia berkata, ”Saya tidak akan berbuat seperti ini bila
majikan saya baik”.
Imas lalu dibawa ke Rumah Sakit Mubarak.
Setelah dua pekan di rumah sakit, ia diberi tahu kakinya mungkin lumpuh
dan harus diamputasi. Ia menjawab dengan menggelengkan kepala dan
menangis.
”Tulang punggung saya dibagian tengah,
hancur dan mendapat 40 jahitan luar dan dalam. Kedua engsel kaki saya
pecah. Tulang-tulang yang rusak ini dipasangi pen,” kata Imas saat
ditemui di pondokan Migrant Care di kawasan Jakarta Timur, Rabu
(22/6/2011) sore.
Ia lalu menunjukkan bekas jahitan di
punggung dan kedua pergelangan kakinya. Maret 2010, pen-pen di kedua
pergelangan kakinya, dilepas di Rumah Sakit Polri Raden Said Soekanto,
Kramatjati, Jakarta Timur.
Indonesia Raya
Sebelum bekerja pada Baba dan Nyonya Z,
Imas, gadis Desa Ciparai RT 1/RW 7, Leuwi Mundaling Majalengka, Jawa
Barat ini, bekerja pada keluarga polisi, J (30). Rumahnya di Jalan
Mubarak al-Kabir. Di tempat ini, J sering menyiksa Imas.
”Saya sering jadi bulan-bulanan kekesalan
dia meski saya tidak bersalah dan diam. Saya dipukuli dan ditendangi.
Saya sudah seperti bola saja. Dia sering baru berhenti menganiaya
setelah saya pingsan. Bahkan kadang, saat dia belum puas menyiksa saya,
dia mengguyur saya supaya sadar, lalu memukuli saya lagi,” papar Imas.
Ketika ia melaporkan kasus ini ke KBRI,
Imas justru dijebloskan penjara oleh majikannya yang polisi.
”Orang-orang KBRI tidak membela saya ketika mereka melihat saya
diseret-seret dan dibawa ke penjara,” tutur Imas. Ia mengaku tidak
digaji selama bekerja pada polisi J.
”Waktu saya di KBRI, saya dikejar-kejar
agen pembantu. Saya lalu dijual ke keluarga lain dengan harga Rp 15
juta. Begitu seterusnya sampai saya bekerja di rumah Baba,” ungkap Imas.
Ia sempat bekerja dengan tenang di dua
keluarga. Ia digaji sebulan 50 Dinar atau sekitar hampir Rp 2 juta.
”Tapi baru empat-lima hari bekerja, agen pembantu menteror majikan saya.
Saya pun dilepas dan dijual kembali ke keluarga lainnya,” ujarnya.
Menurut Imas, Warganegara Indonesia yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab, dilarang memakai bahasa
Indonesia. ”Kalau menyanyi Indonesia Raya?”. ”Aduh…,” jawabnya sambil
menggelengkan kepala.
Korban lain
Sejak Februari 2011, Imas berada di
Indonesia. Saat dirawat di Rumah Sakit Polri, ia bertemu dengan seorang
pembantu rumah tangga lainnya yang juga dirawat. Namanya Basaeri (25).
Tulang punggung Basaeri patah. Beberapa jaringan syarafnya rusak. Ia
tidak bisa lagi berkomunikasi. Bicaranya kacau.
Imas bercerita, Basaeri adalah pembantu
rumah tangga yang bekerja di Suriah. Saat mengepel, ia jatuh didorong
anak majikannya. Bukannya mendapat perawatan, Basaeri justru dianiaya.
”Sekarang dia sudah meninggal. Dia meninggal waktu dioperasi,” tutur
Imas.
Nasib serupa juga dialami kawan Imas
lainnya, Dewiyanti asal Brebes, dan Muslimah asal Tegal Gubuk,
Indramayu, Jawa Tengah. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis
Hidayah, tidak kurang dari lima ribu pembantu rumah tangga warganegara
Indonesia mendapat kekerasan fisik selama bekerja di Arab Saudi. Dua
ribu di antaranya, menjadi korban kekerasan seksual. “Di negeri lain
jumlah korban lebih kecil,” jelasnya.
Budak nafsu
Pembantu rumah tangga lainnya, Rosnani
(48) mengatakan, apa yang dialami Imas, Basaeri, Dewiyanti, dan
Muslimah, menjadi hal yang biasa terjadi di Arab Saudi. ”Sejak 1985 saya
bekerja di Arab Saudi dan sudah beberapa kali pulang ke kampung
halaman. Saya bertemu mereka dimana-mana. Nasibnya serupa. Kalau tidak
jadi sasaran nafsu syahwat, ya jadi sasaran nafsu membunuh,” tutur
perempuan asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu.
Ia berpendapat, para pembantu rumah
tangga warganegara Indonesia hidup seperti budak di Arab Saudi. Dijual
oleh para agen pembantu rumah tangga. Ditarik lagi dan ditempatkan di
keluarga lain, demi mendapat Rp 15 juta – Rp 20 juta dari setiap
transaksi jual beli. ”Kalau belum laku. Di suruh nunggu di kamar kaca
kantor agen pembantu, sampai ada orang yang membeli,” ujar Rosnani.
Menurut Imas, dianiaya dan diperkosa
berulang kali oleh majikan dan keluarganya, dijual dan diperas agen-agen
penyalur pembantu rumah tangga, menjadi pengalaman sebagian besar
kawan-kawan satu pekerjaan di Arab Saudi.
“Kalau sudah tua seperti saya,
orang-orang itu engga doyan. Sebagai gantinya, saya diperas bekerja 22
jam setiap hari tanpa libur. Bangun jam 05.00, tidur jam tiga hari
berikutnya. Dipukuli, disekap, diludahi, dilempar ke comberan,” lanjut
Rosnani.
Ia mengaku, setelah memukuli, majikannya
dengan mudah menempelkan pisau di lehernya sambil mengancam, ”Saya bisa
gorok dan potong-potong kamu sesuka hati saya. Tidak ada yang melindungi
kamu di sini bukan?”. Karena ancaman seperti itu datang berulangkali,
Rosnani pun tidak tahan dan kabur dengan uang sendiri.
Rosnani mengingatkan, tidak mudah kembali
ke Tanah Air setelah para perempuan pembantu rumah tangga terjerat
jaringan agen pembantu rumah tangga. ”Bisa lepas dari agen dan punya
uang untuk pulang saja sudah mujur,” tuturnya.
Meski mengaku nasibnya lebih beruntung,
tetapi Rosnani tak mau lagi ke Arab Saudi menjadi pembantu rumah
tangga. ”Lebih senang hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas
di negeri orang,” katanya menutup percakapan.
Baca Blog khusus mengenai Bagaimana Islam memperlakukan Wanita di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar