Sabtu, 30 Agustus 2014

Derita TKI


Dijual Rp 6 Juta, Diperkosa Tauke
KISAH pilu tentang TKI di negeri seberang tak pernah habis. Namun, arus masuk tenaga kerja Indonesia ke negeri Jiran itu, tetap tak kunjung surut. Berbagai macam kejadian tragis, sepertinya tak mengendorkan semangat mereka, untuk mencari sesuap nasi di tanah orang. Sepertinya, apapun perlakuan yang akan diterima, mereka hanya bisa pasrah. Diperkosa, disiksa, di tendang bahkan dikurung, mereka tetap saja ingin kembali mengais rezeki di sana. Berikut kisah duka beberapa Nakerwan kepada wartawan AP Post Tri Hanjaya, di Kuching Sarawak.
Salah satu korban terbaru Tenaga Kerja Wanita (Nakerwan) Indonesia di Negeri Jiran adalah EK (27) warga Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sanggau. EK --Gadis malang berpostur kecil itu menjadi korban perkosaan seorang kontraktor perkebunan di Sibu, tempat ia bekerja.
Setelah hamil, sang Tauke, Thing King Ciong (42), bukannya mengakui si jabang bayi. Tanpa rasa kemanusiaan, ia malah memaksa EK menggugurkan kandungannya. Thing dengan kasar memaksa EK menelan pil Tuntas sebanyak 4 kotak, sekaligus. Akibatnya memang fatal, EK sekarat. Jika tidak segera dilarikan di Rumah Sakit Bintulu, nyawanya mungkin tak tertolong. Janinnya yang baru berusia dua bulan gugur, sementara ia mengalami pendarahan parah. EK tak lebih dari sekedar budak nafsu sang majikan.
Kisah Sedih EK bagai melengkapi riwayat pilu yang sangat panjang, akan nasib WNI di negeri seberang. Ia mengaku sangat geram akan perlakuan majikannya itu. "Saya sebetulnya tidak mau ke Kuching, Setelah terpaksa pergi, nasib saya malah jadi begini," kata EK, di Konsulat Jendaral RI di Kuching.
Ditipu
Menurut EK, kisah malang yang dialaminya itu tak lepas dari peranan seorang makelar TKI di Kabupaten Sanggau. Waktu itu, kata EK, sekitar bulan Februari 1999 , Ia berencana pulang Kampung. "Saya cuti kerja di salah satu perusahaan industri kayu, di Kecamatan Beduai Kabupaten Sanggau. Saya bekerja sebagai tukang masak di situ, " ungkap EK perlahan.
Setibanya di Terminal Kota Sanggau, ia di dekati seseorang yang kemudian dikenalnya bernama AA. Oleh AA, ia dibujuk ke Sarawak. Kala itu, EK masih tak bergeming. Ia tegas menolak karena sering mendengar kisah tragis nakerwan RI di Sarawak. Pertemuan pertama berlalu tanpa hasil.
Tak disangka, ketika EK selesai cuti, Anton menyusulnya ke kampungnya. AA kembali membujuk agar EK bersedia ke Sarawak. "Gaji kamu sangat besar, ketimbang bekerja di sini habis-habis untuk makan, kalau di sana masa depan kamu cerak," bujuk AA berulang-ulang.
EK akhirnya menyerah. Ia bersedia. Hanya saja, EK minta AA
mengantarkan seluruh barang-barang ke rumah orang tuanya di Desa Sebuan. "Barang saya itu baju, celana, rok serta kopi, gula, susu dan teh. Semuanya saya beli di Koperasi Perusahaan, harganya memang murah ketimbang di pasar. Saya biasa membawa pulang untuk orang tua. AA berjanji mengantarkan barang itu ke Sekadau," papar EK sedih. Belakangan diketahuinya, seluruh barang yang dititipkannya itu tidak ada yang sampai ke orang tuanya.
Setelah menyatakan bersedia, AA membawanya ke EC, broker TKI di Entikong. Setelah 'dijual' ke Effedi, Anton menghilang tak tahu kemana. Oleh EC, ia dijanjikan akan dicarikan kerja di Sarawak. Sebelumnya, mereka dibuatkan paspor. "Kami di bawa ke Sanggau, di buatkan Parpor di Imigrasi Sanggau. Biayanya di tanggung Effendi. Kami menginap di Hotel Carano,' ujar wanita berkulit gelap itu lagi.
Setelah urusan paspor beres, tanggal 5 Februari 1999, EC, melalui kurirnya di Tebedu, H, membawa beberapa TKI -- termasuk EK - ke seorang Agen TKI di Sibu, yakni AH, yang beralamat di Gt.Lane 15 Upper Sarawak, Lanang Road 96000 Sibu.
AH, yang dikenal memiliki jaringan kerja luas, segera menjual mereka ke beberapa perusahaan. EK di jual ke perusahaan perkebunan di Desa Tatau. 'Oleh AH kami di jual seharga RM 3.200 (sekitar 6,5 juta). Kami tidak mendapatkan sepeserpun. Kalau menolak, kami di tampar. Harga diri tak ada, kami dianggap binatang, dijual belikan sebagai budak," tutur EK geram.
Setelah resmi dibeli, EK di bawa wakil perusahaan perkebunan, yang tak lain adalah Thing Kin Ciong, yang belakangan sangat menentukan nasib duka EK. Saat menjemput, Thing Kiong, terlihat sangat baik dan ramah. EK dibawanya ke Desa Tatau, tak jauh dari Sibu. Sebelumnya, Thing membawa EK ke Bintulu. Alasannya, ia ingin bertemu mitra bisnisnya. "Kalau di perusahaan nanti kamu bertugas memasak, untuk karyawan," ujar Thing mengingatkan EK.
Usai bertemu rekannya, EK di boyong ke Tatau. Ketika itu, hari sudah malam, hujan dan banjir. Kamp perkebunan yang dijanjikan terletak jauh terpencil. Oleh anak buah Thing King Ciong yang menjemput, mereka ditarik dengan rakit yang terbuat dari drum. Setelah bersusah payah, mereka akhirnya sampai di perkebunan.
"Kami sampai sekitar jam 4 subuh. Tak ada wanita saat itu, saya basah kuyup, diperintahkan Thing bersalin baju di kamp, dia terlihat baik," ujar EK lagi. Selanjutnya, EK melaksanakan tugas rutin, memasak untuk karyawan perkebunan, yang kebanyakan berasal dari Indonesia.
Di Hotel
Sampai akhirnya tanggal 17 Februari, EK mengalami nasib yang tragis. Kisahnya, ia diajak Thing King Ciong, ke Bintulu. Alasannya, untuk berbelanja. Karena bertugas memasak, EK tentu tak ada alasan menolak. "Itukan tugas saya," ujarnya lagi. Se sampai di Bintulu, EK diinapkan Thing di sebuah Hotel. "Kamu tunggu disini saja, saya ke luar dulu, nanti kita belanja sama-sama" pesan Thing kepada EK yang tak bisa menolak.
Tak lama, Thing datang. Ketika masuk, pintu kamar hotel di kunci, dan ia terlihat kesetanan. Sikap Thing membuat EK sangat takut. Firasat buruknya terbukti. Thing mengajaknya bersetubuh. Tentu saja EK menolak. "Saya bukan lonte. Saya berteriak minta tolong, tapi tidak ada yang membantu. Saya datang ke sini mau cari kerja. Saya bukan murahan. Jangan paksa saya," sergah EK sembari meronta.
Namun Ting kesetanan. Sergapannya begitu kuat. EK terus memberontak. "Jangan saya baru saja Mensturasi, nanti saya hamil, karena masa subur, jangan," tolak EK lagi. Tangan kuat Thing akhirnya membuat EK tak berdaya. Baju dan celananya dibuka paksa. Usai melampiaskan nafsu setannya Thing keluar, dan kamar di kunci dari luar.
Tak puas, berselang sekitar satu jam, kembali Thing masuk ke kamar. Ia memaksa EK untuk melayaninya. EK yang menolak, diancam Thing dengan keras. "Awas kamu, kalau tidak mau," ancam Thing. Akhirnya, peristiwa memilukan itu terjadi lagi. Setelah itu mereka berbelanja, kemudian kembali ke Tatau.
Digugurkan
Selang beberapa bulan, Thing mendekati EK sembari bertanya, apakah ada reaksi akibat kejadian itu. Dijawab Eli, bahwa ia tidak datang bulan. Mendengar itu Thing terkejut, apalagi bulan berikutnya EK mengaku terus terang bahwa ia hamil dua bulan. Thing menjadi gelap mata. Ia memaksa Eli mengugurkan. Namun EK menolak. "saya terasa tak berharga baginya,' ujar EK sesak.
Ia tak tega membunuh bayi dalam kandungannya. Namun Ting terus mendesak. Ia memberi EK empat kotak pil Tuntas. "Kamu harus makan ini, kalau tidak awas kamu, saya bunuh sekalian sama bayinya," ancam Thing. Karena takut, EK memakannya. Akibatnya sangat fatal. Eli tiba-tiba sakit, pandangannya gelap dan pingsan. Ia mengalami pendarahan dan pingsan. Oleh rekan-rekannya, ia di bawa ke klinik Tatau, selanjutnya di kirim ke RS Bintulu. "Saya keguguran. Saya menginap tiga hari dua malam di rumah sakit itu. Thing tak pernah melihat. Ia hanya mengirimkan orangnya untuk mengurus dan membayar semua biaya rumah sakit. Sama sekali tak ada rasa ibanya.
Setelah sembuh, Thing menyuruhnya mengambil cuti. Saat cuti itulah ia bertanya kepada rekan-rekannya kemana harus mengadu. Oleh kawan-kawannya ia di sarankan ke Konsulat RI di Kuching. Kepada Thing, ia minta surat cuti, dan minta bantuan uang 300 ringgit. Namun tak diberi. Ia hanya diberi uang RM 50. Karena terdesak, uang itu diterimnya.
Berbekal uang itu ia segera ke Tebedu, setelah mengurungkan niatnya untuk mengadu ke Konsulat. Di Pos Tebedu, sempat terjadi masalah, karena aparat Imigrasi Tebedu menolak mencap keluar paspornya karena ia tak bisa menunjukkan surat cuti dari perusahaan. Karena itu, ia pulang begitu saja tanpa mencap paspor, baik di Tebedu maupun di Imigrasi Indonesia. "Sampai di kampung, saya bertekad menyelesaikan masalah ini secara hukum. Saya tidak berterus terang dengan orang tua. Saya bilang dengan orang tua, cuti bekerja," ujar EK lagi.

Setelah 1 Minggu, atas bantuan EC, ia kembali di kirim ke Kuching, dan segera melaporkan masalahnya ke Konsulat Indonesia, awal Mei lalu. "Kasusnya akan kami tindak lanjuti, kasihan dia harus begini," kata Konsul Indonesia di Kuching, Ayi Nugraha. Sembari menunggu perkaranya bergulir, hingga kini, EK menetap di KJRI Kuching. "Hak-hak kita harus ditegakkan, walaupun kita lemah, kita bukan binatang," ujarnya sembari menerawang. Tapi saya ingin tetap bekerja di sini, kata EK membulatkan tekadnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar